Sejarah Kedokteran

Dokter Juga Pahlawan (3): Dr.Soetomo Arek Suroboyo!

 

dr.soeTempoe Doeloe tidak ada satupun rakyat Soerabaia yang tidka kenal nama Dokter Soetomo. Mereka sering menyebutnya Pak Tom, begitu saja. Tidak ada yang berani mengatakannya dengan gaya cengengesan.

Bayangkan, ia dikenal sebagai dokter sukarela. Artinya, dipanggil tengah malam pun bersedia. Tidak dibayar pun juga tidak apa-apa. Dan itu semua ia lakukan setulus hati. Lha siapa yang tidak terharu demi melihat sikapnya yang demikian itu.

Siapa dr.Soetomo?

dr.soe kecilLahir di Desa Ngapeh, Nganjuk 30 Juli 1888. Ayah Sutomo, Raden Suwaji, adalah seorang priyayi pegawai pengreh yang maju dan modern. Beruntunglah Sutomo, karena dibesarkan di keluarga yang berkecukupan, terhormat dan sangat memanjakannya. Limpahan kasih sayang, tertuju pada Sutomo kecil, terutama dari sang kakek dan nenek. Kakek Sutomo bernama R Ng Singawijaya atau KH Abdurakhman. Nama tersebut sangat disegani dan ternama di wilayah Nganjuk. Hal inilah yang sangat berpengaruh pada perilaku dan sifat Sutomo. Manja, nakal, sewenang-wenang kepada kawannya, pun berkelakuan bak raja kecil.

Masuk STOVIA.

Selesai Sekolah Rendah Belanda, terjadi pertentangan antara ayah Sutomo dengan sang kakek. R Suwaji ingin Sutomo masuk STOVIA, sedangkan R Ng Singawijaya menginginkan Sutomo menjadi pangreh praja (Mungkin sekarang STPDN kali…).
Bagi Sutomo sendiri, pertentangan dua orang yang sangat berpengaruh dalam kehidupannya itu sangat menyita pikiran. Hati kecilnya sebenarnya lebih memilih kedokteran (STOVIA). Alasannya, dirinya tidak suka melihat ayahnya yang pangreh praja disuruh-suruh Belanda…Lha kok nyimut dadi jongos’e Londo? 
Namun disisi lain, Sutomo tidak ingin menyakiti hati sang kakek. Akhirnya melalui suatu perenungan panjang, secara tegas Sutomo menolak jabatan sebagai pangreh praja. Pilihannya jatuh pada STOVIA. Keputusan berani di usianya yang baru menginjak 15 tahun itu, membawa langkah kakinya ke Batavia. 10 Januari 1903, Sutomo resmi menjadi siswa STOVIA.

Cuplikan Sejarah STOVIA:

Asal muasal STOVIA berdiri dikarenakan pada tahun 1847 dr.W.Bosch (Ka.DinKes Batavia) mendapat laporan berjangkitnya berbagai penyakit berbahaya di Banyumas. 9 Nopember 1847, pemerintah Hindia Belanda memanggil pemuda2 untuk dididik menjadi juru kesehatan dengan syarat:

1. Sehat & Cerdas.

2. Bisa membaca, menulis Jawa & Melayu.

3. Dari lingkungan keluarga baik-baik.

 

Dalam kursus diajarkan 15 mata pelajaran:

1. Dasar-dasar bahasa Belanda.

2. Berhitung.

3. Ilmu Bumi (Eropa & Indonesia).

4. Ilmu Ukur.

5. Ilmu Kimia Anorganik.

6. Ilmu Falak.

7. Ilmu Alam.

8. Ilmu Pesawat (Alat-alat Kesehatan).

9. Ilmu Tanah.

10. Ilmu Tumbuh-tumbuhan.

11. Ilmu hewan.

12. Ilmu Anatomi Tubuh.

13. Asas-asas Patologi.

14. Ilmu Kebidanan.

15. Ilmu Bedah.

Tamat sebagai Indische Arts (nama lain Dokter Jawa), ia lantas mengabdikan dirinya bagi kepentingan di masyarakat.

Pada tahun 1917, ia menikah dengan seorang Zuster Belanda, Everdina Johanna Bruring (Bukan Suster Ngesot..apalagi suster gepeng..dibujuk’i pilem gelem’ae!!).Di mata Sutomo, sang isteri adalah wanita pujaan. Tugas harian seperti memasak, mencuci dan sebagainya selalu dilakukan dengan kerelaan. Cukup kontradiktif, mengingat bumiputera adalah bangsa tertindas. Bruuring bahkan tak punya waktu senggang di hari libur atau pun di hari Minggu, mengingat diwaktu-waktu seperti itu, rekan-rekan seperjuangan Sutomo selalu mengadakan rapat di rumah mereka.Pengabdian yang tulus inilah yang membuat Sutomo makin cinta pada Bruuring. Sampai akhir hayatnya, hanya Bruuring lah satu-satunya wanita yang pernah singgah di hati Sutomo. Sejak Bruuring wafat pada 17 Februari 1934 pukul 09.10 menit, tak pernah terniat dihati Sutomo untuk menikah lagi.

Dari tahun 19-1923 bersama istrinya ia tinggal di Negeri Belanda untuk melanjutkkan sekolah & niasmemperoleh gelar Arts, dokter beneran lulusan Universitas. Sepulang dari Belanda ia memutuskan untuk menetap di Soerabaia, & mengajar di NIAS (Nederland Indische Artsen School) yang kelak akan menjadi FK UNAIR.

Di Soearabaia Pak Tom Menetap hingga akhir hayatnya. Wafat 30 Mei 1938, seluruh penduduk Kota Soerabaia tumplek blek di Jl.Bubutan, maka jalan itupun berubah jadi lautan manusia. Suara dzikir berdengung dari lisan ribuan pelayat mengantar kepergian putra bangsa terbaik.

Tentang sepak terjang beliau di Boedi Oetomo, bisa dibaca diartikel dokter-dokter pengukir sejarah bangsa.

Soerabaia Tempo Doeloe Sumber:

  •  – Pd.Persi.
  •  – Soerabaia Tempo Doeloe (Buku 1, “Pak Tom”), Dukut Imam Widodo.

7 tanggapan untuk “Dokter Juga Pahlawan (3): Dr.Soetomo Arek Suroboyo!

  1. wow keren ya loyalitasnya sebagai dokter…..patut diacungi jempol,begitu jg rasa sayangnya thdp istri tercinta…saya merasa terharu……btw emang tugas istri ideal itu _Tugas harian seperti memasak, mencuci (wah itu istri ato pembantu ya???)melas tenan para istri,kalo ternyata hadirnya di sisi suami cuma bgt….

  2. sebagai arek suroboyo aku kagum temen rek soale nek jaman saiki endi gelem sarjana tamatan luar negri kerjo gag dibayar/ kerja sosial, lha wong tamatan SD ae jaman saiki nyambot gawene njaluk enteng bayarane gedhe wis ngono kurang titik opo2 terus demo, pokoknya perjuangan pak tom ini harus wajib diikuti seluruh generasi indonesia semangat kebangsaan dan rasa tidak mau di rendahkan oleh bangsa asing serta kepedulian terhadap sesama/empati ini dan yang penting kita harus belajar dari beberapa kesalahan yang telah dibut oleh oknum2 pendahulu kita agar bangsa ini lebih baik dan dapat mensejajarkan diri dg bangsa2 lain dari segi apapun derta kita dihargai dlm forum apapun juga, amin bravo suroboyo

  3. Sebagai orang Nganjuk, saya sangat bangga, karena ada orang Nganjuk yang menjadi Pahlawan Nasional. Namun sejauh saya mencari, ya hanya ada informasi seperti itu saja, artinya saya belum pernah menemukan sebuah buku yang khusus mengupas tuntas tentang Dr.Soetomo. Oleh karenanya saya bermaksud melengkapi perpustakaan dengan menulis sejarah tentang Dr.Soetomo

  4. Wow…. Dr.Soetomo memang seorang Dokter yang patut menjadi suri tauladan para muda-mudi di Indonesia. Seharusnya kita dapat mencontoh suri tauladan oleh Dr.Soetomo.Saya sering melihat berita di televisi, ada berita tentang aksi demokrasi para paramedis karena menuntut kenaikan gaji sehingga para pasien terlantar.Menurut saya itu perbuatan salah, karena bagaimanapun mereka harus mengutamakan pasien yang akan mereka rawat, kalau mereka ingin menuntut hak-hak sebagai paramedis,harusnya tak sampai menelantarkan para pasiennya…..

Tinggalkan komentar